Love, Laugh, Live

Puzzle

Satu saat semua berubah dengan zamannya.

Satu kalimat yang cocok buat saya dan rumah lama saya di daerah Hertasning Baru, sekitaran bulan Februari, pasca valentine di siang terik hari minggu kala itu, saya mengukur setiap centimeter masa lalu saya disini.

Terlalu banyak yang saya tinggalkan disini.





Kataku dalam hati sembari mengukur dan menghisap rokokku perlahan namun dalam. Mulai dari ruang keluarga yang sebenarnya lebih mirip kamar costum, lemari buku, lemari seragam, meja seterika, ruang nonton, persis suasana film film bokep Jepang tapi versi “ bangunan batu “.

Lembab rumah lamaku setelah di kontrak sama koperasi simpan pinjam yang setengah mati bayar listrik dan air, sampe sampe, saya harus rela merogoh kocek sendiri gara gara bayar air dan listrik bulanan rumah lama saya … walaupun di ganti juga sama nyokap.

Biasanya diruangan ini saya sering nonton shinchan, chiby maruko chan, dragon ball z, dan DVD senam nyokap yang zaman SD video klipnya sudah bikin mimisan karena kebanyakan modelnya pake bikini.

Dulu, saya ingat waktu musim hujan, waktu ada ular yang masuk ke ruang keluarga, saya panik, adik adik saya panik, nyokap malah berani, ngambil garam, melemparnya ke ular sawah yang kepalanya nyelip di sela sela pintu ruang keluarga sambil istigfar. (kata nyokap : “ takutnya ada yang kirim kirim ilmuu, jadi harus istigfar “ ).

Heh, ntah lah, nyokap punya request.



Dhua khali emphat mether

Seruku sambil menggigit rokok dan tutup pulpenku, tangan kananku meng-sketsa-kan kembali masa masa kecilku disini.

Meteranku mulai menarikku ke ruang makan plus dapur plus kamar mandi. Tidak di satu ruangan, cuman serasa di ruangan terluas kedua di rumah. Mengukur flashback.
Kamar mandi?

Aduuuuuh, disinilah kolam renangnku ketika SD sampai SMP, yaa, hobi saya mencuci kamar mandi, sebab di rumah lama saya, ada bak mandi yang setiap dua minggu, pasti di kuras karena dinding dalamnya yang menguning, terlalu sering menampung air.

Ada dua lemari yang sering menjadi sasaran saya ketika tengah malam. Lemari makanan dan lemari piring. Saya suka ketika membuka lemari makanan, aromanya seperti toko cina di kompleks sebelah, dengan bau tepung lembab, bau mentega yang di taruh di gudang swalayan, ooooooh Tuhan. Selera makanku menjadi jadi, sampai sekarang pun aroma itu masih ada di lemari yang sudah hilang isi makanannya.


Shatu shethengah khali enham mhether.

Ku bakar lagi rokokku selanjutnya.
Depan laci Pantri, ada kompor Rinnai dua mata dengan pembakar sate di tengahnya yang biasa bertengger di atas pantri, saksi mati selama saya belajar merokok pertama kali.
Di sebelahnya ada tembok pemisah antara kompor dan dapur, di atasnya ada ventilasi biar dapurnya tidak pengap, sekalian bau rokoknya hilang. Kalo pagi, saya sering mandi di dapur, mendidihkan air, dan mencari gentong tua yang biasanya di pake buat acara siraman keluarga, mencampurnya dengan perlahan, lalu mandi dengan bahagia.

Haaaah, masa lalu.

Beranjak SMP, saya memberanikan diri tidur sendiri, malu, sudah sunat tapi masih tidur sama bokap nyokap.

Didepan kamar nyokap, ada ruang tamu, kursi tengah adalah kursi yang nikmat di gunakan kala telpon telponan sama teman perempuan yang rumahnya dekat mesjid belakang kompleks.



Sshhhhhht, fhuuuuuuuuuuuuu. Dhua khali thigha mhether.

Konsentrasiku buyar, dua kali tiga meter ini terlalu banyak beban disini, ini kamar lamaku. Ku bolak balik pintunya, melihat apakah stiker skaters pertamaku masih ada?

Lenyap, setelah di bersihkan sama “ penghuni sementara “. Dikamarku, ada jendela mengarah ke gudang, tirainya tidak pernah ku buka, kalaupun iya, mungkin di cuci nyokap gara gara udah bapuk.



*Eglek eglek eglek, lima kali tujuh meter.

Ku habiskan air dingin bersama rokok terakhirkku siang itu, ku tutup pintu rumah, lalu ku buka gudang.

Saya masih ingat, motor GL Pro kantor yang di­ – museum – kan disini, dibelakangnya saya selalu sembunyi, diam diam mengambil sisa rokok bokap yang tembakaunya masih panjang. Mainan sisa sisa dari Jakarta dan Bandung sudah tidak ramai lagi disini.

Biasanya, teman temanku setiap sore datang kesini. Sebelum McD ada di Makassar, Happy Meal  masih menjadi komoditi import ketika masih kecil, kalo sudah punya mainannya, otomatis kasta kamu  meningkat pesat di antara pergaulan sebayamu.

Lalu mereka malu lagi main Happy Meal sesudah meninggi. Bukan karena meminum hormor peninggi badan seperti retweet Ramalan Bintang di Twitter. Tapi sunat.

Apa lagi di gudang?? Sepeda.

Oooooh, saya punya sepeda Polygon semi cross kuning biru dengan kabel tis jingga di setirnya hasil tamat mengaji waktu SD kelas 6. Dengan sepeda ini, saya sering melihat anak anak muda kompleks sebelah yang di grebek Perintis gara gara balapan liar di jalan raya sehabis di aspal waktu itu.



Tiga kali lima meter

Teras depan. Roti Buana masih eksis seperti Sari Roti di Jakarta, setiap sore sehabis patroli sepeda dengan teman teman saya, penjual roti itu saya hentikan di depan rumah. Roti daging atau keju ayam adalah makanan wajib, saya teriak dari depan teras agar nyokap membawa tiga lembar uang seribu dan satu koin lima ratus kuning untuk melunasi itu semua.


Pasca TK, kadang saya telanjang bulat demi mengejar roti andalan sore itu. Teriak di belakang pagar, dengan tangan yang meremas jari jari pagar. Maklumlah, pikiran saya masih sempit waktu itu. Telanjang adalah hal yang sepele.


Aaaaaaaaaah, ada uang kecil. Beli rokok dulu deh.


Betul betul sakaw saya siang itu. Ku rogoh kantong celana pendekku hari itu.


Shhhhhhhhhht fhuuuuuuuuu.

Tarikan pertama setelah ku bakar rokok itu, nafasku pendek, sesak dengan masa lalu. Belum lagi asap rokok yang mpet mpetan dengan oksigen yang lalu lalang di bronkusku.



Gharhashi, emphat shethenghah khali dhua mhether.

Ku gigit rokok ketengan itu. Selesai sudah safari nostalgiaku hari itu.






Sekarang, sembilan bulan berlalu, rumah lama ini sudah di rombak kiri kanan. Setelah perdebatan pembagian ruangan sama bokap nyokap. Setelah denah di foto copy berkali kali biar ada skesta asli dan copy-annya yang selalu di coret coret.


Heeeeeh. Ajaib.


Ada satu ruangan yang saya dan bokap sepakati untuk tidak di rombak sama sekali ;

Kamar bokap nyokap.



Ya, kami berdua mufakat, kata bokap ; jaaaaaaangan dong, ini kamar banyak sejarahnya, kamu sakit, ke kamar ibu. Minta uang ke sekolah, ke kamar ibu. Adik adikmu di gendong, ke kamarnya ibu. Kamar pertama yang pake AC, ya kamarnya ibu. Jadi fix, kamar yang ini jangan di bongkar.






Kini, rumah lamaku menjadi minimalis, ceritanya masih eksis dalam pikiranku.

Saya masih ingat, sore itu setelah pulang sekolah masa SMP, saya di introgasi gara gara salah satu memory hape teman perempuan saya hilang.

Dengan boxer seadanya, dan tembok tetangga depan rumah. Saya di adili.

Entah kenapa, masa lalu selalu terikat dalam puzzle masa depan, saya tidak pernah menyangka, ternyata masa lalu adalah bagian masa depan.

Dan entah kenapa, saya kangen dengan teman teman lama saya. Saya kangen menjadi anak pra-remaja  yang ; Polos, seadanya, sederhananya.




Saya kangen kalian, rumah lamaku.


CHAO!!!

Posting Komentar